Melati untuk Ayna
Oleh : Bilqis Aisyah
Kamar Ayna, pukul 19.47 ...
Ayna mematut dirinya di depan cermin. Seulas senyum menghias di wajah cantiknya. Sesekali Ayna mengusap – usap kedua pipinya yang memerah. Ada beberapa bekas jerawat yang sempat singgah disana. Juga tahi lalat kecil melekat abadi di sudut dagu lancipnya. Disela – sela antara telinga kanan dan rambutnya kini terselip bunga melati segar yang mewangi. Melati itu tidak begitu besar, namun wanginya mampu menyebar kesudut – sudut ruang.
Ayna mencoba mengibaskan rambutnya yang panjang. Melati itu semakin memperjelas kecantikannya yang alami. Dalam – dalam ia menatap bayangan matanya di dalam cermin. Mata itu begitu bening dan lembut, namun seperti memiliki magnet yang begitu kuat menyeretnya lebih jauh dan lebih dalam. Semakin dalam.
Bayangan wajah Ayna dalam cermin itu kini menjadi lebih cantik. Bahkan menjadi sangat cantik. Tak ada lagi bekas jerawat di pipinya. Kulitnya begitu bening dan halus. Matanya menjadi begitu teduh dan lembut. Diam – diam hatinya berdesir, benarkah itu dirinya? Benarkah ia begitu cantik seperti bayangan cermin yang ada di depannya? Lalu rambut itu? Selendang itu? Anting – anting dan kalung itu? Ah, Ayna seperti dibawa kesebuah dunia tanpa nama. Seperti sebuah dunia dari masa lalu. Mungkin mayapada, nirwana, atau lorong waktu, ia tak peduli. Wajah cantik itu mengalahkan segala kemungkinan yang ada di kepalanya. Tak ada lagi cermin dan kamar tidur di sekelilingnya. Dihadapannya wanita berselendang kuning tak henti menebar senyum. Wanita itu mengenakan kemben sutra dengan garis – garis merah putih yang menawan. Bunga melati yang sama dengan milik Ayna, terselip pula ditempat yang sama. Namun ia yakin itu bukan dirinya.
Ayna meraba melati disela telinganya. Matanya tak bergerak seolah – olah tak ingin melepaskan pandangannya. Tak ingin sekedippun kehilangan peristiwa yang ada disekelilingnya. Samar – samar dibelakang wanita cantik yang tak dikenalnya itu memberkas sesosok lelaki gagah perkasa. Lelaki berkumis tipis itu hanya mengenakan rompi kulit berwarna gelap. Tak ada perhiasan apa – apa. Hanya sebuah cakra emas di genggamannya. Lelaki itu mencoba tersenyum pada Ayna. Senyum itu begitu ramah seperti ingin menyapa Ayna. Namun bagi Ayna senyum itu mencurigakan. Senyum lelaki itu menyiratkan hasrat seolah ingin menyentuh atau sekadar menyapa Ayna. Ayna menarik kakinya mundur beberapa langkah. Lelaki itu terus mendekat. Keringat dingin mengucur deras didahi Ayna. Ayna beringsut ingin meronta. Namun lelaki itu semakin leluasa mendekatinya, seolah ada kekuatan luar biasa yang melunglaikan tulang – tulang Ayna. Ia tergagap, ia berontak.
” Jangan ......!” Akhirnya sebuah teriakan mengembalikan Ayna kekamar tidurnya. Ini bekan mimpi. Ayna ingat betul bahwa ia tidak sedang tertidur. Sesuatu yang baru saja hadir didepannya adalah nyata. Dicermin itu masih ada dirinya. Bukan wanita cantik yang beberapa saat lalu ada didepannya. Ayna tercenung menormalkan kembali aliran darahnya. Memandang kesetiap sudut kamarnya. Tak ada yang berubah. Semua tetap sama seperti sedia kala.
” Ayna, ada apa?” Suara pak burhan ayah Ayna manyadarkannya dari diam. Rupanya teriakan Ayna tadi telah sampai ketelinga mereka dari ruang keluarga. Ayna menceritakan semua yang ia alami beberapa menit yang lalu. Menceritakan fenomena yang secara nyata tiba – tiba hadir didepannya. Dunia masa lalu itu, lelaki bersenjata cakra itu, wanita cantiki berselendang kuning itu ...
Tanpa disadari, melati disela telinga Ayna kini telah berpindah ketelapak tangannya. Melati itu masih segar dengan wangi yang sama seperti pertama kali ia menyentuhnya. Melati itu masih utuh setiap kelopaknya. Melati itu masih indah dan tak memudar warnanya. Padahal ini adalah hari ketiga melati itu berada ditangannya. Entah dengan alasan apa pada waktu itu Ayna mau menerimanya. Ketika itu Ayna dan teman – teman sekolahnya sedang mengadakan kunjungan ilmiah untuk melengkapi materi dalam pelajaran sejarah. Mereka mengunjungi sebuah situs yang berada di kampung Dermayu. Menurut pak sulistijo, guru sejarah Ayna, kampung Dermayu ini adalah cikal bakal terbentuknya Indramayu.
Pak Sulistijo mengajak Ayna dan rekan – rekannya menuju sebuah komplek pemakaman yang meremangkan bulu kuduk. Beberapa pohon tua menambah kesan
Dan hari – hari berikutnya adalah hari – hari yang paling aneh dalam hidup Ayna. Seperti siang ini, ketika jam pelajaran dimulai dan belajar seperti biasanya. Ketika semua murid tengah memperhatikan pelajaran yang diberikan oleh guru mereka. Ketika Ayna tengah asyik menggores – goreskan tinta hitamnya diatas selembar kertas guna mencatat ilmu – ilmu penting yang diluncurkan oleh gurunya, seketika tercium kembali wangi melati yang memenuhi seluruh ruang kelas, tiba - tiba 2 orang pria itu melintas di depan kelas. Ayna tersentak, hingga hampir menjatuhkan batang pulpennya. Ayna mencoba mengabaikannya, namun kembali mereka menampakkan dirinya lagi, lagi, dan lagi dihadapan Ayna, mengganggu konsentrasi Ayna pada pelajarannya. Dan Ayna ingin menceritakannya kepada teman sebangkunya yang juga sahabat dekatnya yaitu Seno. Namun ia takut Seno tidak percaya seperti teman – teman yang lainnya. Kehadiran 2 orang pria tadi benar – benar mematungkan Ayna seolah – olah kembali menyedotnya ke masa lalu seperti keanehan yang terjadi di kamarnya tempo hari. Namun kini tidak 1 orang, melainkan 2 orang. Satu sosok lagi seorang pria tua, berusia kira – kira lebih setengah abad, berperawakan tinggi jangkung, dengan badan tegap, hidung mancung, dengan pakaian yang sederhana, yang diduga sebagai pembantu dari pria sebelahnya. Lagi – lagi mereka tersenyum seolah – olah ingin menyapa Ayna. Ayna pun ingin membalas senyuman dan sapaan mereka, namun sebuah tepukan yang dijuruskan pada pundaknya mengembalikannya pada ruang kelas seperti semula.
“ Na, kamu kenapa?” tanya Seno sahabat Ayna sambil menatap heran pada sahabatnya. Namun Ayna hanya menggeleng diam. Seolah – olah tidak ingin menceritakan semuanya kepada sahabatnya itu.
“ Ayolah na, ceritakan saja padaku. Aku tak seperti yang lainnya, yang tidak percaya akan ceritamu.” Kata Seno meyakini Ayna.
“ Kau mencium bau melati tidak?” tanya Ayna hati – hati kepada sahabatnya. Namun, ketika Seno sedang mencari – cari bau bunga melati itu, seketika Ayna menegurnya dengan alasan pasti sahabatnya ini tidak akan percaya pada ceritanya.
“ Ah sudahlah, kamu pasti tidak akan menanggapi pertanyaanku, dan tidak akan mempercayai kata – kataku.” Kata Ayna dengan nada sedikit tinggi, yakin bahwa sahabatnya tidak akan percaya.
“Ayna tunggu, walaupun aku tidak dapat mencium bau melati itu, dan hanya kau yang bisa merasakannya, tetapi aku tetap percaya padamu.” Kata Seno benar – benar ingin sahabatnya itu percaya.
“ Aku sahabatmu, aku sangat mengenalmu. Kamu adalah anak yang jujur, itulah yang menyebabkan aku percaya padamu.” Lanjut Seno. Seketika Ayna merasakan kejujuran dibalik perkataan sahabatnya itu. Namun, ia tetap tidak ingin melibatkan sahabatnya dalam permasalahan yang hampir membuatnya kehilangan sebagian rasa keberaniannya.
“ Teeettt …..!”
Suara bel tanda pulang pun telah berdentang kencang di setiap depan ruang kelas. Itu pula yang menjadi pertanda pulangnya para murid - murid. Semua murid berhamburan keluar kelas. Kembali pada singgasananya. Karena ibu dan ayah kini tengah menanti kehadirannya di istana berkarpet merah yang siap menyambut kedatangannya. Langkah yang bagai alunan nada mengantarkan Ayna kembali kerumahnya. Panas matahari tak menghalangnya untuk segera kembali ke singgasananya. Namun siang itu, entah karena kekuatan apa langkah Ayna tidak mengantarkannya pada rumahnya. Sementara itu, Seno sahabat Ayna yang melihatnya berjalan dengan arah yang berbeda dari biasanya, langsung menegur Ayna.
“ Na, kamu mau kemana? Bukankah arah rumahmu kesana? Mengapa kamu malah berjalan kearah matahari tenggelam itu?” tanya Seno mulai cemas melihat keanehan pada diri sahabatnya. Namun seolah Ayna tak mendengarkan teguran sahabatnya, Ayna hanya diam, tatapannya seolah kosong, dan terus melangkah hingga membawanya kesebuah istana sederhana yang terbuat dari kayu, dengan atap terbuat dari kayu tanpa singgasana. Diistana itu pula, Ayna mendengar samar – samar percakapan seorang pria yang pernah dilihatnya didepan kelas dengan seorang wanita cantik yang pernah dilihatnya sewaktu ia bercermin.
“ Terimakasih tuan hamba telah mengubah keadaan di padukuhan ini dengan segala ilmu pertanian yang tuan hamba miliki.” Kata pria bertubuh tinggi jangkung itu.
“ Sama – sama tuan. Tak pernah terfikirkan dalam benak hamba untuk mengubah seluruhnya yang berada di padukuhan ini. Hamba hanya ingin berbagi ilmu pertanian dengan para warga disini.” Ujar wanita itu lemah lembut, laksana daun yang jatuh dari rantingnya.
“ Tidak. Tuan hamba telah memberikan dampak positif di padukuhan ini. Maka dengan senang hati hamba menerima segala tindakan tuan hamba.” Kata pria itu sambil tersenyum. Seketika, datanglah seorang pria yang diduga sebagai pangeran guru bersama 24 pengikutnya, seraya berkata.
“ Hai nyi endang dharma, mengapa selama ini kau tak pernah kembali? Bukankah kau sudah menjadi permaisuri ku? Mengapa tak sekalipun kau berhubungan dengan ku?” tanya pangeran guru itu sambil menarik urat nadinya.
“ Tak sudilah kiranya hamba kembali padamu wahai pangeran guru! Dari dulupun, hamba tak pernah mau dipersunting olehmu!” jawab wanita itu menahan amarahnya.
“ Oh begitu rupanya. Setelah kini engkau memiliki ilmu kanuragan.” Kata pria itu lagi menatap wanita itu sinis.
“ Sesungguhnya seorang wanita itu tak pantas memiliki ilmu kanuragan. Jika memilikipun pasti tidak seberapa. Bagaimana jika kau uji dengan ilmu kanuragan milikku?!” sambung pangeran guru sambil mengangkat dagunya seolah merendahkan wanita itu. Perkataan sinis yang menghujam hati wanita itu, seolah memaksa amarah wanita itu untuk melayani ajakannya.
“ Baiklah jika itu mau tuan hamba, akan saya layani.” Jawab wanita itu tak kuasa menahan amarahnya. Seketika terjadilah peperangan yang sangat dashyat oleh pangeran guru beserta 24 pengikutnya dengan wanita itu. Melihat peperangan itu, Ayna hanya dapat terkejut, mulutnya menganga tak percaya. Hingga akhirnya, satu – persatu pengikut pangeran guru harus menerima ajalnya. Tumbang satu demi satu, hingga kini giliran pangeran guru untuk menjemput para pengikut – pengikutnya yang telah menunggu di pintu alam baka. 25 orang dapat ditebas habiskan oleh wanita itu. Yang kemudian jasad pangeran guru beserta para pengikutnya dimakamkan di makam selawe, yang berarti 25 ( jumlah pengeran guru dan 24 pengikutnya). Perasaan haru biru pun menyelimuti perasaan Ayna. Hingga akhirnya buliran bening telah membentuk tirta dipipinya. Sementara itu, Seno sahabat Ayna yang masih penasaran pada tingkah laku sahabatnya, ternyata telah mengikuti sahabatnya berjalan dibawah alam sadarnya. Seketika melihat sahabatnya itu menangis dipinggiran makam pangeran guru, Seno langsung menyadarkannya dan menyeretnya pada kenyataan bersama orang – orang lainnya.
“ Na, kamu kenapa? Kenapa kamu menangis di pinggiran makam seperti ini? Apa yang terjadi na?” tanya Seno pada sahabatnya yang terus menangis dipinggiran makam guru. Ketika suasana telah tenang, Ayna langsung menceritakan yang barusan ia alami pada sahabatnya, juga tentang melati yang selama ini membawanya bermuara menyusuri dunia dibawah alam sadarnya. Mendengar cerita yang diluncurkan oleh sahabatnya dengan air mata yang masih tersisa menggenang dimatanya, Seno langsung meminta bantuan orang lain untuk membawa sahabatnya kembali kerumah.
Sesampainya dirumah, Seno menceritakan semuanya yang ia lihat dan terjadi pada sahabatnya kepada orang tua Ayna. Orang tua Ayna hanya dapat menatap anaknya penuh rasa prihatin dan sedih. Namun, Seno tetap meyakinkan orang tua sahabatnya itu untuk percaya pada semua cerita yang dialami oleh anaknya. Hingga akhirnya, orang tua Ayna menanyakan dari mana asal melati yang membawa anaknya berkelana didunia lain itu, guna untuk mencari solusi pada masalah yang sedang di derita oleh anaknya. Namun Seno tidak tahu, hingga ia menyuruh orang tua Ayna untuk menanyakannya langsung pada Ayna. Namun, ketika orang tua Ayna hendak menanyakan hal seputar melati itu pada anaknya, tiba – tiba mereka mendapati kamar Ayna yang kosong. Ternyata wangi melati itu kembali mengantarkannya pada sebuah keluarga yang memilki lukisan Nyi Endang dharma yang sangat cantik dengan selendang kuning yang dikenakannya, dan sebuah bunga berwarna merah yang menempel pada telinga sebelah kanannya. Dan terdapat pula bunga – bunga lainnya yang tergeletak di atas selendang yang berada di pangkuannya. Berhidung mancung, dengan tatapan mata yang dalam. Cantik sekali. Ayna pun menceritakan semua kejadiannya yang berkaitan dengan melati dan wanita yang berada dilukisan itu. Dan kakek – kakek pemilik lukisan itu menyarankan agar Ayna datang ke tempat pemakaman Raden Wiralodra. Dengan diberi petunjuk oleh kakek tua itu, dan tuntunan bau melati itu, akhirnya Ayna sampai juga di pemakaman Raden Wiralodra. Disana terdapat 2 pemakaman, yang diduga sebagai pemakaman R.Wiralodra dan Ki Tinggil. Disana terdapat pula beberapa kertas, foto, bunga, minyak wangi, uang logam, kain putih, kelambu, dupa, Al – Qur’an, dan tercium pula bau bunga dan dupa menambah keangkeran suasana. Serta terdapat pula seorang gadis cantik asli Indramayu yang telah menginap 3 malam di pemakaman Raden Bagus Aria Wiralodra I, entah apa yang sedang ia tunggu di sana, hingga perasaan takut dapat ia tepis untuk tetap bermalam disana. Lalu terdapat pula seorang pria sedang membaca kitab di pemakaman Ki Tinggil, dan terdapat beberapa makam lainnya yang juga dianggap keramat. Ketika Ayna tengah asyik melihat silsilah pendiri Indramayu dari R.Wiralodra ke I hingga R.Rolat ( Purbadinegara) ke II, bau melati itu kembali mengantarkan Ayna pada dunia yang berbeda. Seketika ia melihat pertempuran seorang pria dengan perawakan kekar dengan seorang wanita yang pernah ia lihat dilukisan milik kakek tua tadi. Samar – samar Ayna mendengar percekcokan diantara keduanya.
“ Engkau tahu mengapa hamba disini berdiri menghadapmu?” tanya pria itu dengan suara yang tegas.
“ Maafkan hamba tuan, hamba tidak tau pasti apa alasan tuan berhadapan dengan hamba sekarang.” Jawab wanita itu sambil menundukan kepalanya.
“ Itu semua karena berita yang telah hamba dengar, bahwa enkau telah membunuh pangeran guru dan para pengikutnya.” Jelas pria itu dengan nada sedikit tinggi.
“ Jika memang itu kesalahan hamba, maafkan hamba tuan. Hamba ingin bermaksud membela diri, karena pangeran guru itu telah merendahkan hamba.” Terang wanita itu dengan raut muka yang sedih.
“ Tetapi engkau harus membayar semua yang telah engkau lakukan ditanah ini.” Ujar pria tadi seraya mulai mengeluarkan kehebatannya.
“ Duh gusti, hamba mohon ampun tidak sanggup melawan tuan gusti.” Kata wanita itu kembali dengan raut muka yang sedih.
“ Jangan takut. Aku hanya ingin melihat seberapa hebatnya engkau hingga dapat menumbangkan pangeran guru beserta para pengikutnya.” Jelas pria itu siap memulai peperangan.
“ Jika demikian titah tuan, hamba akan menjunjungnya.” Jawab wanita tadi memulai peperangan. Kini, dihadapan Ayna telah terjadi suatu pertempuran yang dashyat. Denting – denting pedang bergesekan beradu perang. Mereka sama – sama mengeluarkan segala macam ilmu dan kelebihannya. Tak pernah sepercik pun rasa menyerah timbul dibenak mereka, hingga akhirnya melalui pertempuran tadi telah melumpuhkan wanita cantik itu. Wangi melati itupun kembali menyeret Ayna pada sebuah sungai besar, airnya mengalir jernih, sungai ini seperti sebuah jalan panjang tentang kehidupan, ia menjadi untaian cerita yang menakjubkan, sempat terbesit rasa kagum pada diri Ayna ketika melihat sungai ini. Tiba – tiba, Ayna melihat seorang wanita yang sedang menceburkan dirinya disungai itu. Melihat itu, Ayna langsung terkejut dan panik, Ayna hendak ingin menyelamatkan wanita itu agar tidak jadi menceburkan tubuhnya ke sungai. Ayna mengulurkan tangannya pada wanita itu, sedikit demi sedikit ia memasukan tubuhnya ke dalam sungai untuk memperoleh tangan wanita itu dan kemudian menariknya, terus berusaha, berusaha, dan berusaha hingga Ayna seolah – olah ikut masuk ke dalam sungai itu. Namun, dibalik usahanya menyelamatkan wanita itu Ayna mendengar samar – samar suara wanita yang berisikan pesan“ Apabila hamba sudah tiada, berilah saja nama padukuhan ini dengan nama hamba agar untuk kenangan kelak, dan apabila suatu hari nanti terjadi sesuatu yang tidak diinginkan di tanah Indramayu ini, hamba berjanji akan keluar untuk menyelesaikannya.” Itulah tadi suara tanpa wujud yang ternyata adalah sebuah pesan. Namun, ketika ia masih berusaha menyelamatkan wanita itu, kenyataan menamparnya telak – telak, ketika ia ditarik oleh sebuah lengan seorang laki – laki yang sudah sangat tidak asing baginya. Tangan Seno sahabat Ayna yang daritadi telah mengikuti perjalanan Ayna. Seketika ia tersadar, bahwa kini ia tengah berdiri di sebuah bangunan sekolah, bukan didepan sungai.
Setelah seharian melakukan perjalanan yang aneh, tiba – tiba Ayna menyadari bahwa dirinya kini telah berada di sebuah ruangan serba putih, dengan sebuah selang menempel dihidungnya. Di hadapannya telah berdiri seorang dokter dengan seragam khasnya yang serba putih, dan terlihat ayah, ibu yang memandangnya dengan tatapan yang sedih dan prihatin, barulah ia menyadari bahwa dirinya sedang berada di rumah sakit. Kemudian dengan suara yang berat, Ayna menceritakan semua yang barusan ia alami. Namun, ternyata dokter telah memvonis Ayna, mengidap penyakit Schizophrenia. Lalu dokter itu menyarankan agar Ayna dapat diberi perhatian yang lebih, dan tidak membiarkan Ayna pergi sendiri. Setelah diberi pesan oleh Dokter tadi, Ayna merasa kini hidupnya serba dibatasi. Namun, kini orang tua Ayna telah mempercayai anaknya sedikit demi sedikit. Karena cerita Seno yang telah meyakinkan kedua orang tua Ayna. Seketika, muncullah seorang anak lelaki remaja beserta seorang wanita setengah baya dari balik tirai putih pembatas pintu dan tempat tidur . Ya, dia adalah Seno dan mbah Tuti . Seno sengaja membawa mbah Tuti untuk datang ke rumah sakit sebab himbauan dari orang tua Ayna yang ingin cepat mendapatkan penjelasan atas masalah yang sedang di alami oleh anaknya .
” Semua ini terjadi, karena Ayna merupakan satria piningit generasi kesekian yang kelak akan menjadi pemimpin di Kota Indramayu ini . Ayna telah dipercaya dan mendapatkan wangsit agar menjadi generasi penerus para pemimpin yang pernah memimpin kota ini . Jadi janganlah khawatir, semuanya akan baik – baik saja . ” Ujar mbah Tuti . Kemudian mbah Tuti menyelipkan sebuah kertas putih di tangan Ayna yang terkulai lemas .
Kertas itu berisi sebuah pesan atau yang dapat dikatakan sebuah Prasasti .
Nangging benjing Allah nyukani kerahmatan kang linuwih
Dharma Ayu mulih harja
Tan ana sawiji – wiji
Pertelanya yen wonten taksaka nyabrang Kali Cimanuk
Sumur kejayan dres mili
Delupak murub tanpa patra
Sedaya tan mukti malih
Somaha lawa prajurit
Rowang lawan priagung
Samya tentrem artinya
Sadaya harja tumuli
Ing sakehing negara pada harja
Kini Ayna berdiri di balik jendela berlukiskan semburat cahaya berwarna kemerahan, menatap kosong setiap bayang – bayang pepohonan di luar jendela . Bersiap menerima kedatangan hari esok yang masih menjadi misteri, berjuang tuk mewujudkan segala keinginan di hati, tuk membangun tanah Indramayu yang kian asri, menjadi generasi penerus setelah pemimpin – pemimpin lainnya .
14 November 2009
Melati Untuk Ayna
Diposting oleh qiEz cHieWeRr ♫~♪♫•*¨*•.¸¸❤¸¸.•*¨*•♫♪ di 21.43 1 komentar
25 Oktober 2009
KEZZ'S CERPEN
Menjemput Impian
Oleh : Bilqis Aisyah
Debur ombak silih berganti memecah tepian pantai Karang Song. Menggiring buih pada hamparan pasir putih yang terserak. Angin utara menyapa lembayung senja yang merona di kaki langit. Sekumpulan camar berkicau riang melayang di antara buih. Damai.
Rodiah hanya sendirian diantara bongkahan – bongkahan batu yang begitu kekar menangkis ombak. Gadis manis anak abah Carba –nelayan miskin di ujung kampung- itu begitu menikmati detil-detil irama ombak pantai utara. Dentuman-dentuman ombak itu seolah dengung gong yang menggerakkan setiap persendiannya. Gemerisik pasir itu seperti ketukan nayaga yang selaras dengan keluwesannya. Tubuh ramping Rodiah terus bergerak melupakan kepenatannya. Rambutnya berkibar-kibar seperti selendang yang mengikuti alunan nada. Terkadang Rodiah tertawa seperti Raksasa, terkadang berlagak bagai seorang kesatria, sesekali ia berubah menjadi puteri raja. Rodiah terus menari menatap samudra. Rodiah menari menjemput senja. Rodiah menari menggapai asa.
Selalu di setiap senja. Dan ini adalah senja yang ke-sekian ribunya ia jelang dengan sebuah tarian. Terkadang untuk lebih menjiwai setiap tariannya, Rodiah membuat topeng dari kertas yang ia gambar sendiri sesuai karakter dalam setiap tariannya. Topeng Kelana dengan spidol berwarna merah, Samba putih polos, Rumiyang dengan spidol merah jambu, Panji dengan garis-garis tipis, Kemenggung berwarna coklat dengan guratan kumis, sedangkan Kelana Udeng ia buat dari potongan kardus bekas minuman.
Ia tak pernah belajar menari. Tapi senja di batas samudra telah mengajarinya setiap gerakan-gerakan penuh estetika. Warna jingga di tepian cakrawala telah menuntun langkah kakinya penuh irama. Bongkahan karang telah menjadi panggungnya selama ratusan purnama. Umang-umang telah menjelma menjadi pengagumnya paling setia.
Menjadi Penari Topeng. Itulah impian yang selalu ia bisikkan pada angin gersang. Ia berharap angin itu akan menerbangkan impiannya menuju panggung dunia. Menari di tengah lautan manusia. Mengenakan kostum lengkap dengan topeng di wajahnya. Melangkahkan kaki diiringi para nayaga. Disaksikan oleh para tamu istimewa. Menjadi duta pariwisata ke mancanegara. Mendapat penghargaan budaya dan segala macam peristiwa yang membuat dirinya menjadi Maestro yang melegenda.
Entahlah, barangkali ia hanya akan menjadi penari topeng yang setia menghantar lelapnya matahari di ujung lautan. Atau mungkin angin tak pernah benar-benar menerbangkang impiannya, agar Rodiah bisa menemaninya membelai tiap lekuk pantai Karang Song. Seorang gadis di pinggir pantai menarikan irama lautan adalah sebuah keistimewaan paling berarti. Setiap sendi yang bergerak mengikuti laju ombak ke tepian adalah keindahan paling sejati. Namun tak seorangpun bisa menikmati. Tak sekejap matapun yang peduli.
Namun, Rodiah tetaplah Rodiah. Seorang gadis miskin yang hanya memiliki panggung batu karang dengan riuh rendah umang-umang serta sebuah ilustrasi tepuk tangan yang selalu melegakannya setiap kali melangkah pulang. Tapi Rodiah baru benar-benar pulang bila senja telah menghilang. Ia selalu ingin menjadi orang terakhir yang menyaksikan matahari tenggelam. Dan selalu ingin menjadi orang pertama yang menyaksikan pergantian malam di Karang Song. Sudah sejak dulu Abahnya memaklumi kebiasaan anaknya ini. Ya, sejak kepergian Mimi, senja Karang Song telah menjadi sahabat paling akrab tempatnya mencurahkan segala perasaan. Seperti sore ini ketika Rodiah baru saja sampai di teras rumah. Abah menyambutnya dengan senyum ramah.
“Sore ini pemandangan senjanya tidak sebagus kemarin, bah.” Katanya sambil menuju sebuah kursi rotan yang sengaja diletakkan diruang tamu, sebagai pemanis. Kursi itu adalah kursi satu – satunya yang mereka miliki. Abah melirik ke luar rumah, dilihatnya langit dengan raut wajah yang sedih.
“Abah tidak melaut?” Tanya Rodiah heran, sebab biasanya lepas maghrib abah sudah berkemas untuk melaut.
“Tidak nok, air laut pasang, takut ada badai.” Kata abah.
Rodiah tak bertanya lagi, sejurus kemudian, ia bangkit meninggalkan abah yang tengah sibuk melipat jaring. Beberapa pekerjaan rumah tangga tengah menanti melengkapi keletihannya setelah seharian kerja di pengolahan ikan asin milik Bi Kusni. Jika hari-hari biasa ia hanya bekerja sepulang sekolah. Namun ini hari minggu, hingga ia harus bekerja seharian dari pagi. Beruntung sekali Bi Kusni masih mau mempekerjakan gadis belia seperti dirinya, jika tidak entah ia tak bisa membayangkan bagaimana beratnya beban yang harus dipikul oleh Abah. Lamat-lamat tembang Bang Toyib bergemerisik dari radio tetangga. Lampu-lampu mulai menyala.
* * *
Teeett….!!!
Bel masuk sekolah berbunyi. Rodiah tergopoh-gopoh berlari memasuki ruang kelas. Tidak seperti biasanya ia terlambat. Ia harus berjalan kaki sejauh enam kilometer untuk sampai ke sekolah karena ingin menghemat ongkos. Biasanya Rodiah dan teman-teman sekampungnya berangkat ke sekolah naik angkot. Namun abah sudah hampir seminggu tidak melaut. Itu artinya tidak ada pemasukan dari Abah. Sedangkan upah dari Bi Kusni hanya ia terima sebualan sekali setiap tanggal lima belas yang biasanya langsung di gunakan untuk nyaur di warung sembako langganannya.
Hari itu memang bukan hari biasa bagi Rodiah. Di sekolahpun Rodiah tampak murung dan menyendiri. Waktu istirahatnya hanya ia habiskan dengan coretan-coretan kecil di meja tulis. Beberapa teman mengajaknya ke kantin, namun ia menolaknya dengan berbagai alasan. Tanpa sadar ternyata coretan-coretan di bangku itu telah berubah menjadi potret sebuah keluarga kecil. Abah, Mimi, dan dirinya. Sebutir bening menetes di sudut matanya. Berbagai pikiran tentang masa lalu dan impian silih berganti menjerumuskannya dalam diam yang panjang.
Mimi adalah seorang Ibu yang mulia dan Istri yang Soleha bagi ayah. Ia selalu bersyukur dan menerima berapapun jumlah penghasilan Abah dari Melaut. Pernah suatu ketika Abah pulang tanpa membawa apa-apa meski tak sebutirpun beras ada di penjaringan mereka. Tapi Mimi menyambutnya dengan tersenyum berusaha mengerti dengan perjuangan Abah. Mereka melewati malam itu dengan semangkuk mi rebus yang di bagi untuk bertiga.
Ah, coba seandainya Mimi masih ada, jerit bathinnya. Lalu kenangan-kenangan berlintasan di benak rodiah. Ah, Mimi. Lihatlah anakmu ingin sekali menjadi seorang penari. Aku ingin menari di Alun-alun, di tengah lautan manusia seperti yang kita saksikan sepuluh tahun yang lalu. Mi, bawa aku dari tempat ini! Batin Rodiah makin meronta.
Mimi meninggalkannya sehari setelah Rodiah kecil mengutarakan keinginannya untuk menjadi seorang Penari Topeng sepuluh tahun yang lalu. Kepergian seorang ibu adalah kehilangan yang besar bagi seorang anak. Terlebih ketika itu usia Rodiah baru menginjak enam tahun. Usia yang sangat rawan bagi perkembangan seorang anak. Kata Abah Mimi pergi untuk bekerja. Namun selama sepuluh tahun kepergiaanya tak pernah sekalipun ada kabar berita. Tak ada surat, telegram, ataupun sekedar kartu pos yang sampai ke rumahnya. Dua tahun yang lalu, seorang tetangga kampung yang baru pulang dari Taiwan mengaku pernah bertemu Mimi di sebuah tempat di sudut kota Macau.
Traakk…! Tiba-tiba saja pensil yang digenggamnya patah. Rodiah tersentak dari pikiran-pikiran itu. Ia langsung ingat dengan Abah di rumah. Entah kenapa ia ingin sekali segera pulang dan merebahkan dirinya di pelukan Abah. Barangkali patahnya pensil itu hanyalah sebuah kebetulan saja, namun sungguh Rodiah merasa bahwa itu adalah suatu pertanda patahnya sebuah harapan dan cita-cita. Ah, Rodiah merasa bahwa bel pulang sekolah hari ini terasa begitu lama dan medebarkan. Ia sudah tak sabar untuk segera bertemu Abah meski tanpa alasan yang pasti.
“Abah mau melaut ya?” pertanyaan itu spontan keluar dari mulut Rodiah begitu sampai di rumah mendapati Abah tengah mempersiapkan peralatan nelayan. Tubuh abah masih menyisakan kegagahan di balik kaos tipis yang di kenakannya. Ia adalah sosok lelaki yang kuat dan seorang ayah yang bijak. Sepeninggal Mimi, Abah kerap mendapat godaan dari beberapa perempuan, namun Abah adalah seorang lelaki yang bertanggung jawab. Ia memilih untuk menghabiskan sisa umurnya bersama anak semata wayangnya, Rodiah.
“Abah, bagaimana jika di laut terjadi sesuatu?” Rodiah semakin khawatir. Abah menghentikan pekerjaannya. Sejenak ia menatap Rodiah dalam-dalam. Di usapnya keringat yang menempel di kening anak kesayangannya itu.
“Nok, kamu pasti capek karena berangkat sekolah berjalan kaki. Istirahatlah, abah akan melaut. Meskipun pasang, abah harus tetap melaut. Kamu jangan khawatir, semoga saja tidak terjadi sesuatu pada Abah. Do’akan saja ya nok, supaya bapak bisa pulang dengan selamat dan membawa uang banyak.”
Rodiah tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya berusaha untuk menguatkan hatinya. Ada yang aneh dari binar mata Abah. Abah seolah-olah menyembunyikan sesuatu darinya. Seperti sebuah penyesalan tiada tara. Namun ia berusaha menutupinya, tak ingin Rodiah menaruh curiga kepadanya. Abah melangkah berat meninggalkan Rodiah. Rodiah menatap punggung Abah benar-benar tak rela melepas kepergiannya. Rodiah merasa ada keganjilan dengan keputusan Abah yang nekat untuk tetap melaut, padahal baru kemarin Abah mengatakan bahwa ia takut ada badai. Dari balik sudut gelap di ujung gang rumah mereka Abah menangis menahan pedih. Mata laki-laki itu tak lepas dari sosok anaknya yang masih terpaku di teras rumah. Maafkan Abah,nok. Abah melakukan ini karena ingin melihatmu bahagia, bisik hatinya.
* * *
“Rodiah. Apa kamu sudah siap?” Rodiah tak mengerti dengan maksud pertanyaan lelaki yang kini tiba-tiba hadir di depannya. Rodiah sedikit bergidik melihat tampang lelaki asing itu. Lelaki hitam, berjas hitam dengan asap yang terus mengepul dari bibirnya yang juga menghitam.
“Saya Tarsa. Lengkapnya Sutarsa. Segeralah berkemas, besok pagi kita berangkat. Malam ini kita akan mengadakan gladi bersih terlebih dahulu.” Rodiah semakin tidak mengerti dengan ucapan lelaki asing itu.
“Begini, secara diam-diam kami sering memperhatikan tarian-tarianmu di pinggir pantai. Menurut kami, kamu adalah seorang penari berbakat alami. Kemahiranmu benar-benar menakjubkan. Sungguh sangat sayang apabila bakat itu di abaikan. Kebetulan kami tengah membutuhkan seorang penari berbakat alam dalam rangkaian perjalanan budaya kami ke beberapa negara. Kami akan sangat bangga bila nok Rodiah mau bergabung bersama kami. Bagaimana nok”
Tiba-tiba Rodiah merasa bahwa tubuhnya melayang ke angkasa. Sepasang sayap menerbangkannya menembus mega-mega. Ia tak tahu harus berkata apa, angannya melambung dengan mata berkaca-kaca. Setengah takjub, setengah tak percaya. Berkali-kali Rodiah mencubit pipinya, berharap ini adalah nyata. Terima kasih senja, terima kasih angin gersang, terima kasih batu karang, terima kasih umang-umang.
Ah, Mimi. Terima kasih Mimi. Akhirnya hari ini tiba. Akhirnya gadis miskin ini menuju impiannya. Mimi, Rodiah akan membuat Mimi bangga. Abah, setelah ini Abah tidak perlu nekat melaut. Rodiah akan bersekolah dengan biaya sendiri dan tidak lagi berjalan kaki. Dan Bi Kusni, Maaf. Rodiah tidak bisa bekerja di gesek lagi. Terima kasih untuk kebaikannya selama ini.
“Ayo, nok. Kita sudah di tunggu.” Suara Tarsa mendaratkan kembali kesadaran Rodiah. Dengan tersipu Rodiah langsung berkemas. Ia tak perlu lagi berpikir panjang. Tak ada yang harus di pertimbangkan. Tak ada yang mesti ia rundingkan. Impiannya telah di depan mata. Sebuah kesempatan yang sudah bertahun-tahun ia nantikan. Inilah saatnya bagi Rodiah untuk memutar roda nasibnya. Rodiah Menyiapkan beberapa helai pakaian yang masih terasa pantas ia kenakan. Memasukkan beberapa perlengkapan yang masih layak ia gunakan kemudian mnitipkan pesan agar Abah tak kehilangan.
Rodiah masuk ke dalam Pick Up milik Tarsa dengan persaan berdebar. Hayalan-hayalan telah membumbungkan harapannya. Terbang setinggi-tingginya menjemput impian.
Duh, sing ora di sangka-sang.
Duh, sing ora di nyana-nyana…
Sebuah tembang Tarling lawas dari radio dua band milik tetangga mengantar kepergian Rodiah. Dari balik sudut gelap di ujung gang, sepasang mata menatapnya penuh luka. Mata itu sudah tak sanggup membendung kepedihan dan kesakitan. Sepasang mata yang penuh keputus asaan. Sebuah tangisan yang lebih dalam dari pingsan. Sebuah kesedihan menuju batas paling tepi dari sepi. Deras air mata itu merembes menetes diatas tumpukan uang dalam genggamannya. Sepasang mata itu adalah milik Carba. Abah Rodiah.
* * *
Rodiah membuka matanya perlahan-lahan. Kelopak mata itu begitu berat. Ia terkejut menyadari bahwa ia kini telah berada di sebuah ruangan dingin bersama beberapa orang gadis seusia dirinya. Mereka pulas meski tergeletak di atas lantai tanpa alas. Cahaya redup di balik tembok tak sampai setengahnya menyentuh ruangan ini. Di sudut kanan ruang terdapat sebuah tong plastik berisi air keruh penuh jentik-jentik nyamuk yang tak terhitung jumlahnya. Beberapa centi dari tong itu menganga pipa saluran yang menebarkan bau pesing bercampur tinja ke segenap ruang.
Rodiah tersentak dengan kepala pusing bukan kepalang. Ada sesuatu yang tercekat di tenggorokannya sehingga susah baginya untuk bersuara. Ia membangunkan seseorang di sampingnya. Tubuh gadis itu nyaris setengah telanjang. Beberapa memar terlihat di pipi kanan dan pundaknya. Sementara di sudut bibirnya yang pecah ada darah yang mongering. Entah apa yang terjadi dengan wanita malang itu. Rodiah berusaha menggoyang-goyangkan tubuh gadis itu, namun tak ada respon. Ia mengira gadis itu jika tidak terlalu lelap maka pasti gadis itu tengah pingsan.
Tiba-tiba ruangan itu gaduh oleh makian-makian dan tangisan dari seorang gadis lainnya di belakang Rodiah. Gadis itu meronta-ronta menahan sakit di kepalanya. Barangkali sakit yang sama dengan yang di rasakan Rodiah. Satu-persatu semua penghuni ruangan itu terbangun. Mereka histeris dalam kegaduhan yang semakin menjadi-jadi. Rodiah baru tersadar bahwa ia dan gadis-gadis lainnya kini tengah di sekap dalam ruangan yang tidak lebih manusiawi dari sebuah penjara bagi para pencuri. Rodiah mengernyitkan kening, mencoba mengingat-ingat apa yang baru saja ia alami.
Malam itu Tarsa membawa Rodiah ke sebuah tempat yang begitu mewah. Pada awalnya ia diperlakukan bagai tamu istimewa. Sebagai gadis kampung yang memiliki impian besar, tentu saja perlakuan manis Tarsa membuat Rodiah terkesan dan percaya dengan segala ucapannya. Tarsa mengiming-iminginya dengan kemewahan dan sebentang jalan meraih impian. Namun justru impian-impiannya itulah yang menjebaknya ke dalam peristiwa-peristiwa pahit dalam hidupnya. Pertemuan dengan Tarsa adalah awal dari segala bencana yang di alami Rodiah. Ia tidak pernah tahu bahwa Abah telah menghargainya dengan segenggam rupiah. Ia juga tidak pernah tahu bahwa sepuluh tahun yang lalu Mimi juga mengalami nasib yang sama dengan dirinya. Dimatanya, Abah tetaplah sosok lelaki yang mulia.
Ternyata Rodiah tak pernah diminta untuk mempertontonkan tariannya. Tarsa tidak benar-benar mengagumi tariannya. Tarsa ternyata adalah musuh humanisme yang memperdagangkan manusia. Ia tidak pernah menyangka bahwa impian telah membutakannya sehingga menjadi korban kemanusiaan. Kini, segala macam penyesalan bergelayut di kelopak mata Rodiah. Segala macam caci maki dan sumpah serapah takkan bisa menjadi diplomasi yang membebaskan dirinya. Keputus asaan tiba-tiba menjadi sahabat yang ingin segera di akrabi. Dalam kondisi seperti ini, masihkah sabar dan do,a menjadi senjata seorang hamba?
Tiga orang lelaki kurus bermata sipit mendekati ruang sekap Rodiah dan kawan-kawan. Masing-masing mereka membawa nampan besar. Satu membawa nasi, satunya membawa lauk dan kerupuk, dan satu lagi membawa air minum. Waktunya makan siang bagi Rodiah dan sahabat-sahabat barunya di ruang tahanan.
“Siang ini kalian orang makan pake telor mata sapi. Dan ini ada vitamin. Jangan lupa diminum.” Kata seorang lelaki itu dengan aksen Tionghoa. Di hari ke sembilannya ini, Rodiah mendapat menu lebih baik dari sebelumnya. Biasanya ia hanya makan pake tahu basi atau ikan teri. Namun yang paling sering adalah mie tawar yang sudah mengembang karena di rendam semalaman. Suka atau tidak suka mereka harus memakannya jika tidak ingin mati kelaparan. Dan vitamin? nah inilah pertanda sesuatu akan terjadi sebentar malam. Setiap tiga hari sekali mereka selalu memberi vitamin dan obat bagi para tahanan, namun pada malam harinya satu dua orang diantara mereka dibawa keluar dari ruang tahanan. Pagi harinya mereka kembali dengan rasa nyeri di selangkangan. Mereka kehilangan keperwanan. Lalu malam ini siapakah yang akan menjadi korban? Rodiahkah, Surti, Mawar, Nining, Sri, atau…? Hantu ketakutan mengurung mereka dalam ruangan empat kali empat tanpa ventilasi entah di belahan dunia mana yang tak pernah mereka ketahui.
* * *
Rodiah dan sahabat barunya kini berada di sebuah dermaga kecil. Hanya ada tiga kapal yang bersandar. Menurut desas-desus yang ia dengar, mereka akan di bawa ke Taiwan. Tapi juga ada yang mengatakan mereka hanya akan dibawa ke pulau seberang.
Bersambung…
Diposting oleh qiEz cHieWeRr ♫~♪♫•*¨*•.¸¸❤¸¸.•*¨*•♫♪ di 22.07 0 komentar
29 Juni 2009
Lirik Lagu Ost Boys Before Flowers
Lirik Lagu Ost "Boys Before Flowers"
almost paradise
ahchim boda duh noonbooshin nal hyanghan nuh eh sarangi
ohn sesang da gajin deut heh, in my life
neh jichin salmeh ggoom churum dagawa joon ni moseub eul
unjeh ggajina sarang hal soo itdamyun
nuh eh soneul jabgosuh sesangeul hyangheh himggut solichyuh
haneuleul gu luh yaksok heh youngwonhi ojik nuh maneul sarangheh
bam haneuleul byulbit gateun oori doolmaneh areumda oon ggoom paradise
nuh wa hamggeh handamyun uhdideun gal soo issuh to the my paradise
nuleul ilutdun shigan gwa geuh apoom modoo da ijuhbwa
ijeh bootuh shijak iyah nuh wa hamggeh
dduhna boneun guh ya dallyuh ganeun guh ya
loving you forever
almost paradise
taeyang boda duh ddaseuhan nal boneun nu eh nootbiteun
ohn sesang da gajin deut heh, in my life
neh jichin salmeh bit churum dagawa joon ni sarang eul
unjeh ggajina ganjik hal soo itdamyun
you are all of my love, you are all of my life
neh modeun gul guluhsuh naneun nuleul sarangheh
juh pooleun bada gateun oori areumda oon ggoom paradise
nuh wa hamggeh handamyun uhdideun gal soo issuh to the my paradise
nuleul ilutdun shigan gwa geuh apoom modoo da ijuhbwa
ijeh bootuh shijak iyah nuh wa hamggeh
dduhna boneun guh ya dallyuh ganeun guh ya
loving you forever
almost paradise
ahchim boda duh noonbooshin nal hyanghan nuh eh sarangi
ohn sesang da gajin deut heh, in my life
neh jichin salmeh ggoom churum dagawa joon ni moseub eul
unjeh ggajina ganjik hal soo itdamyun
chunsa gateun ni misoga gadeukhan oori nakwoneh
nuh maneul wihan ggotdeuldo youngwonhi chehwo bolgguhya
taeyang boda duh ddaseuhan nal boneun nu eh nootbiteun
ohn sesang da gajin deut heh, in my life
neh jichin salmeh bit churum dagawa joon ni sarang eul
unjeh ggajina ganjik hal soo itdamyun
unjeh ggajina sarang hal soo itdamyun
Because I’m Stupid
neh muli nuhmoona nabbasuh nuh hana bakkeh nan moleuh go
daleun sarameul bogo itneun nun ilun nen ma eumdo moleuh getji
nuheh haroo eh naran ubgetji ddo choo
nuhman balaman bogo itneun nan jaggoo noonmooli heu leuh go issuh
nuh eh dwitmoseub eul boneun gutdo nan hengbok iyah
ajik nah eh ma eum eul mollado ggeutneh seuh chi deusshi gado
ni ga nuhmoo bogo shipeun nal en
nuhmoo gyundigi himdeun nal eh neun
nuh leul sarang handa ibga eh mem dol ah
honja dashi ddo crying for you
honja dashi doo missing for you
baby i love you, i’m waiting for you
nuheh haroo eh nan ubgetji ddo giyuk jocha ubgetjiman
nuh man baraman bogo itneun nan honja choo
neh gen sarangilan areumda oon sangchuh gatta
nuh eh yehbbeun misoleul bo ahdo hamggeh nan ootjido mot heh
ni ga nuhmoo seng gak naneul nal en
gaseum shiligo seulpeun nal eh neun
niga bogoshipda ibga eh mem dol ah
honja dashi ddo crying for you
honja dashi doo missing for you
baby i love you, i’m waiting for you
bye bye never say goodbye
iluhkeh jabji mot ha jiman
i need you amoo maldo mot heh
i want you balehdo dashi balehdo
ni ga nuhmoo bogo shipeun nal en
nuhmoo gyundigi himdeun nal eh neun
nuh leul sarang handa ibga eh mem dol ah
honja dashi ddo crying for you
ni ga nuhmoo seng gak naneul nal en
gaseum shiligo seulpeun nal eh neun
niga bogoshipda ibga eh mem dol ah
honja dashi ddo crying for you
honja dashi doo missing for you
baby i love you, i’m waiting for you
Yearning of Heart - A'ST1
Ashwiun maeumingeol, ashwiun maeumingeol
Kyeote isseodo eonjena keuriungeol
Hey my girl, yuri cheoreom naegen bulanhan maeumingeol
Ashwiun maeumingeol, ashwiun maeumingeol
Kyeote isseodo eonjena keuriungeol
Hey my girl, idaero neol pumane dago shipo
Hessal dalmeun neowi keu miso
Barameul dalmeun ni hyangi
Ddaddeuhan sumkyeol
Singkeureoun neowi nunbichi joha
Haengboke hanadul chwihan
Sarangi kkumi dwilkkabwaDa sarajilkkabwa
Kyeote ineun ni soneul kkok jabke dwae
(Shashalal Shashalal) Hey my girl, be my girl
Shashalal Shashalala in my heart, yeongweonhi meomulrojwo
Ashwiun maeumingeol, ashwiun maeumingeol
Kyeote isseodo eonjena keuriungeol
Hey my girl, yuri cheoreom naegen bulanhan maeumingeol
Ashwiun maeumingeol, ashwiun maeumingeol
Kyeote isseodo eonjena keuriungeol
Hey my girl, idaero neol pumane dago shipo
Oh nan neomaneul bomyeon neomu dugeundae
Neon ireon nal bomyeonseo neul ugonhaeIreonke sarangkka
Ireonke haengbok ilkka
Maeil achim nuneul ddeugimaneul you know
Haru haru keoganeun naemam
Niga motddaraolkkabwa
Kireul ilheul kkabwa
Kyeote ineun ni soneul kkok jabke dwae
Shashalal Shashalala Hey my, be my girl
Shashalal Shashalala in my heart, yeongweonhi meomulrojwo
Ashwiun maeumingeol, ashwiun maeumingeol
Kyeote isseodo eonjena keuriungeol
Hey my girl, yuri cheoreom naegen bulanhan maeumingeol
Ashwiun maeumingeol, ashwiun maeumingeol
Kyeote isseodo eonjena keuriungeol
Hey my girl, idaero neol pumane dago shipo
Ashwiun maeumingeol, ashwiun maeumingeol
Kyeote isseodo eonjena keuriungeol
Hey my girl, yuri cheoreom naegen bulanhan maeumingeol
Ashwiun maeumingeol, ashwiun maeumingeol
Kyeote isseodo eonjena keuriungeolHey my girl, idaero neol pumane dago shipo
Starlight Tears – (Kim YuKyung)
seh hayan byulbit chi noonmooleul gamssayo
ddaddeut han barameh noonmooli nehlyuhyo
geudeh neuggi nayo
joyonghi soksak ineun geudeleul hyanghan i ddullimeul
hayan jongi wi eh geudel geulyuhyo
ddaddeut han misoga nal ana joonehyo
igeh sarangin gayo
doo nooneul gama bwado geudeh man bo ineun gulyo
i will be waiting for you
geudel gidal lilggehyo
duh isang apeun noonmool bo iji aneullehyo
you let me know guhjitmal gatteun sarang
nochi aneul guh ehyo balo geudeh ni ggayo
geudeh eh gi
gaseum sok gadeukhi noonmooli goyuhyo
na udduhkeh gajyo
ggoomsok ehsuhdo jocha geudeleul geuli wohehyo
i will be waiting for you
geudel gidal lilggehyo
duh isang apeun noonmool bo iji aneullehyo
Lucky – Ashily
nan himi deulddehmyun lucky in my life
geudehga ggoom chuh lum daga onehyo
seulpuh jilddehmyun lucky in my dream
geudeh ddaseu hageh naleul ggok gamssa joonehyo
unjena iluhkeh oossuhyo na
sesangi himdeulgeh hehdo nan juldeh
noonmooleun bo igo shipjin anchyo
neh mameul moleuneun geudehlado
mulli suhlado geudeh eh geu miso leul
ganjikhal soo issuh daheng ijyo
oolgo shipeul dden lucky in my love
sangsang sok geudehga mutjyuh boyuhyo
ooljuk heh jimyun nan lucky in my world
geudeh ggoomgyul chulum naleul ggok anajoojyo
unjena iluhkeh oossuhyo na
sesangi himdeulgeh hehdo nan juldeh
noonmooleun bo igo shipjin anchyo
neh mameul moleuneun geudehlado
mulli suhlado geudeh eh geu miso leul
ganjikhal soo issuh daheng ijyo
modeun geh areumdawo nan nuhmoo hengbokhan gul
welo oon sesangeh nan ddo neh sowoneul damayo
unjena iluhkeh oossuhyo na
sesangi himdeulgeh hehdo nan juldeh
noonmooleun bo igo shipjin anchyo
neh mameul moleuneun geudehlado
mulli suhlado geudeh eh geu miso leul
ganjikhal soo issuh daheng ijyo
geudeh han galeumman dagawayo
nal balabwa jwoyo juhgi juh byuldeul chulum
neh mameh geudehga dwehuh jool soo ubnayo
i will be waiting for you
geudel gidal lilggehyo
duh isang apeun noonmool bo iji aneullehyo
you let me know guhjitmal gatteun sarang
nochi aneul guh ehyo balo geudeh ni ggayo
Sesange sorijilleo I love you neolsaranghandago
Naui yeojaga doeeo dallago
Nunbusyeo Always you're my star
Naeganeol jikyeojulge
I can always be waiting for you
Jichin haruui kkeuteseo nal utgehan yuilhan saram
Himgyeoun nae sarmui kkeuteseo nal bangyeojun danhansaram
Dasi harureul sijakhae neoui yeppeun miso tteoollyeo
Nan nuguboda haengbokhae neoman naegyeote isseumyeon
Jeo haneure I promise you
Nae modeungeol neoege julge
Sesange sorijilleo I love you neolsaranghandago
Naui yeojaga doeeo dallago
Nunbusyeo Always you're my star
Naeganeol jikyeojulge
I can always be waiting for you
Wae ijeseoya ongeoni sesangeul gajingeot gata
Gomawo namanui cheonsa cheoeumcheoreom neol saranghae
Jeo haneure I promise you
Neoui modeungeol gatgosipeo
Sesange sorijilleo I love you neolsaranghandago
Naui yeojaga doeeo dallago
Nunbusyeo Always you're my star
Naeganeol jikyeojulge
I can always be waiting for you
Uri hanaman yaksokhae haneure geolgo maengsehae
Taeyang bulta eobseojil geunalkkaji neol saranghae
Oh my love
Gidohae neol heorakhae jugil neoui namjaro nal badajugil
Yaksokhae jungneun nalkkaji nae maeum byeonchi anha
I can always be waiting for you
Baby, I will forever with you
Yeongwonhi neomaneul saranghae
Do You Know?(Someday)
nan hessal eh nooni booshin shing geulun achimi omyun
sarangeh nooneul ddeumyuh nolel heh yo
ojik geudeh hanaman wihehsuh
for you~ i love you, only you
sulleh ineun mam gadeuk heh
hyangi lo eun kuhpi boda boodeuluh oon
na eh soom gyullo geudehleul bo ayo
anayo? geudehneun neuggijyo geudehdo
gaseumi mal hago itneun sarangilan gullyo
deullyuhyo? ijehneun bo ah yo, ijehneun
ggotboda duh areumda oon soojoobeun ma eumeul
nal harabayo. na eh soneul ggok jabayo
hengbokhan giboonijyo noonbooshin oonmyungijyo
sarangeh hyang gi eh miso ji uh yo
nan barami booluh omyun
salmyushi doo neuneul gamgo
sarangheh joomoon chulum soksak yuh yo
ilun nehmameul neuggil soo itdolok
geudeh neh nooneul bo ah yo
sulleh ineun mam gadeuk heh
mabub gateun kisseuh chulum ddasaro eun
na eh ma eumeul ijeh neun bo ah yo
anayo? geudehneun neuggijyo geudehdo
gaseumi mal hago itneun sarangilan gullyo
deullyuhyo? ijehneun bo ah yo, ijehneun
ggotboda duh areumda oon soojoobeun ma eumeul
nan yaksok heh yo oori son eul ggok gulluh yo
hengbokhan giboon ijyo noonbooshin oonmyung ijyo
sarangeh hyang gi eh chwi heh bo ah yo youngwon hi
anayo? geudehneun neuggijyo geudehdo
gaseumi mal hago itneun sarangilan gullyo
deullyuhyo? ijehneun bo ah yo, ijehneun
ggotboda duh areumda oon soojoobeun ma eumeul
oloji nan geudeh maneul sarang habnida
Diposting oleh qiEz cHieWeRr ♫~♪♫•*¨*•.¸¸❤¸¸.•*¨*•♫♪ di 21.54 0 komentar
03 Juni 2009
Diposting oleh qiEz cHieWeRr ♫~♪♫•*¨*•.¸¸❤¸¸.•*¨*•♫♪ di 21.28 0 komentar